Ahok
gubernur fenomenal. Tak lama menjabat tapi dia cepat berkarya dan
diganjar sangat banyak penghargaan berbanding gubernur se-Indonesia.
Karya untuk Jakarta mulai dari RPTRA, normalisasi kali, maksimalisasi
Trans Jakarta, hingga seksekusi MRT, LRT, dan lain-lain. Terkenal tak
hanya di Jakarta tapi juga belahan dunia lainnya. Berani melawan arus,
memberantas korupsi, mengeksploitasi transparansi melalui E-Budgeting.
Peduli pada orang miskin namun tak rela melanggar konstitusi, sikap
langka yang ada padanya. Menegakkan hukum mengembalikan hak negara,
itulah dia. Namun kejujurannya hingga bicara apa adanya, cenderung
dianggap kasar dan menyasar manusia dasa muka. Ahok bersalah karena
salah memilih kata, sekalipun dalam konteks yang benar yaitu jangan
merasa tidak enak memilih saya karena keyakinan agama yang
dikumandangkan pemuka. Kata-katanya salah, juga tidak seratus persen,
karena tak satupun saksi dipengadilan yang hadir melihat dan mendengar
pidatonya merasa ada yang salah. Tapi itulah realitanya. Dia tergugat
karena dia Gubernur dengan minus double degree. Sejuta peristiwa dan
cinta seakan terlupa, benci disana sini menggema.
Putusan
hakim telah jatuh, jauh lebih berat dari gugatan jaksa yang justru
mengakui tak semua gugatannya terbukti. Dari dua pasal penodaan agama
KHUP 156a, menjadi hanya 156 yaitu penghinaan terhadap golongan. Tak
jelas golongan mana yang dimaksud. Namun jaksa sepenuhnya memiliki hak
menuntut berdasarkan keyakinannya. Tuntutan jaksa hukuman satu tahun
dengan 2 tahun percobaan yang berarti tidak perlu dipenjarakan, menjadi 2
tahun penjara dalam vonis hakim. Semua yang mengikuti persidangan
terkejut, begitu juga para pembela. Namun suka atau tidak kita harus
menerima keputusan hakim sekalipun sulit menalarnya. Ahok dikatakan
koopertaif, sopan, tak pernah mangkir, namun malah diperberat hukumnya.
Sementara hal yang dinilai memberatkan menyinggung dan menimbulkan
kegaduhan dikalangan umat Islam, lucunya tak sedikit umat Islam yang
memihaknya. Tampaknya hukum tak sendiri, dia berselingkuh dengan
politik. Tak jelas mas kawinnya, tapi yang pasti Ahok dianggap pas
sebagai tumbalnya.
Penting
buat pecinta kebenaran, ini buat soal Ahok, agama, hukum, atau politik
belaka. Ini soal kepentingan yang lebih besar yang bisa memanfaatkan
atau mengorbankan semuanya. Ingat baik-baik, ada banyak pemain yang
biasa menghalalkan segala cara dan menusuk dari belakang. Mulut dan
kata-kata mereka manis namun mematikan. Mungkin kita kecewa, airmata
mengalir sudah, tapi tak boleh tenggelam disana. Kita sebagai anak
bangsa yang rindu pemimpin besar karena benar harus semakin bijaksana
menyikapi situasi sekitar kita. Persoalan lebih besar menanti di Pilkada
serentak 2018 dan Pileg serta Pilpres 2019. Gerakan radikal seakan naik
daun dan kelompok yang memanfaatkannya semakin yakin dengan divonis
penjaranya Ahok. Ahok dihentikan peluang politiknya, namun dia tampak
teguh dan siap dengan segala resikonya. Memang usaha banding terbuka,
kita lihat saja.
Apa
yang harus kita lakukan, mari menyatukan diri tak lagi terpisah. Jangan
berhenti hanya dalam doa tapi juga bekerja. Rumuskan perjuangan suci
yang tak terjebak benci tapi elegan dan terinci. Semoga dipenjarakannya
Ahok bisa menjadi amunisi kebersamaan dan semangat perjuangan. Dan dari
penjara, semoga Ahok tetap bersuara dengan kekuatan ganda tanpa harus
terpeleset. Berita Ahok viral di sosmed, tak kurang dari 50 media asing
meliputnya. Ah, Ahok, berkat Allah tak berhenti untukmu, dibalik duka
ada suka.
Airmata
kami bagimu, bukan terperangkap sedih, tapi semangat berjuang dalam
kebenaran. Maklum dinegeri kita yang tak jelas salahnya juga bisa masuk
penjara, tapi kita cinta Indonesia.